Jumat, 06 Februari 2009

Warisan Soedarso, Sang Dokter dan Pejuang

Pontianak, BERKAT.
Nama dr. Soedarso tak asing ditelinga masyarakat Kalbar. Namanya diabadikan disebuah rumah sakit terbesar di Kalbar milik pemerintah dengan sebutan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soedarso yang terletak di Jalan dr. Soedarso perbatasan Kota Pontianak dengan Kabupaten Kubu Raya.
"Penghargaan itu diberikan atas pengabdian dan jasa beliau pada sebelum dan sesudah kemerdekaan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat Kalbar," kata Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Kalbar, Dra. Lisyawati Nurcahayani, M.Si melalui Dra. Juniar Purba, M.Si Peneliti Sejarah BPSNT.
Dalam tulisannya yang berjudul Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan, Juniar menceritakan bentuk perjuangan yang diberikan tokoh pejuang dan sosial yang memiliki nama lengkap dr. Mas Soedarso tersebut.
Tokoh kelahiran 29 November 1906 di Pacitan Jawa Timur ini merupakan anak ke-7 dari 12 bersaudara yang lahir dari pasangan R. Atmosoebroto dan Oemimackminatun.
Usai menamatkan pendidikan di School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) dengan menyandang gelar dokter tahun 1931, Soedarso pun mengabdikan dirinya ke sejumlah daerah di Indonesia antara lain Semarang, Muntilan, Boyolali, Benteng, Pulau Selayar di Sulawesi Selatan dan Surabaya.
Dan di tahun 1938, dia ditugaskan ke Pontianak sebagai pelayan kesehatan masyarakat, yang merupakan permulaan pengabdiannya di Kalbar. Pada saat itu kondisi Pontianak masih sepi. Sehingga timbullah berbagai ide pemikirannya untuk mengangkat derajat ksehatan dan SDM yang masih tertinggal.
Pada tahun 1942, tentara Jepang menduduki sejumlah daerah di Kalbar. Peperangan dengan tentara sekutu tak terelakan. Korban jiwa berjatuhan. Penyakit seperti kolera menyebarkan virusnya. Jepang pun mulai panik. Ketika itu terdapat 8 dokter di Kalbar antara lain dr. Sunaryo, dr. Agusdjam, dr. Ismail, dr. Ahmad Diponegoro, dr. Zakir, dr. Rubini, dr. Soedarso serta dr. Salekan.
Nasib malang menimpa dokter lainnya. Tentara Jepang menculik dan membunuhnya. Sedangkan dr. Soedarso dan dr. Salekan tidak diketemukan.
Pada saat itu dr. Soedarso sedang bertugas di pedalaman Sanggau. Mengetahui aksi penculikan Jepang, masyarakat setempat membantu menyembunyikannya. Dikarenakan, beliau telah banyak membantu di antaranya pemberian bantuan seekor sapi sebagai bentuk perhatian Soedarso dalam rangka perbaikan gizi.
Namun, usai Perang Dunia II di zaman pemerintahan Belanda tahun 1945, bersama dua rekannya, ia ditangkap dan di tahan di Penjara Sui Jawi. NICA melihat dr. Soedarso yang merupakan tokoh politik yang kala itu Ketua PPRI (Pemuda Penyongsong Republik Indonesia) sangat berbahaya. Dikarenakan telah memimpin rapat umum di lapangan Kebon Sayoek untuk menolak kedatangan NICA dan harus mengakui kedaulatan Pemerintahan RI yang sah. Namun, akhirnya mereka dibebaskan tanpa syarat.
Dari usulan dia jugalah, Kalbar akhirnya diterima menjadi sebuah provinsi pada tahun 1957. Dan tahun 1958, ia diangkat sebagai anggota Dapernas (Dewan Perencana Nasional) perwakilan Kalbar. Tahun 1960, dia juga dipilih menjadi anggota MPRS oleh DPRD Tk I. Tahun 1953 ia diangkat juga menjadi Direktur Rumah Sakit Bersalin Pontianak.
Pengabdiannya di bidang sosial dan kesehatan telah banyak menuai hasil. Berbagai sekolah dirintisnya antara lain Sekolah Kesejahteraan Keluarga Tingkat Atas dan Sekolah Juru Kesehatan.
Banyak yang telah menjadi tauladan dari seorang Soedarso yang patut menjadi contoh.
"Bukan kekayaan melainkan ilmu yang diwariskan bapak. Yakni kerja keras dan membantu bagi yang membutuhkan tanpa ada rasa pamrih," kata Ny. Hartati Soedarso istri dr. Soedarso ketika di temui BERKAT di kediamannya.
Dari wajah ibu yang telah menginjak usia 86 tahun ini terpancar rasa bangga akan apa yang telah diperjuangkan sang suami. Terlebih 2 di antara 7 anak-anaknya mengikuti jejak sang ayah menjadi dokter. Seperti dr. Sri Astuti Suparmanto, M.Sc, Ph yang pernah menjabat sebagai Kepala Kanwil Kesehatan Kalbar. (rob/Harian Berkat)