Kamis, 10 Juli 2008

Kontraktor Kesulitan,Polisi Kebingungan

***Masalah BBM dan Kayu

Pontianak, BERKAT.
Masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan sulitnya mendapatkan kayu tidak hanya dikeluhkan oleh masyarakat umum, akan tetapi para pelaku jasa konstruksi pun mengalami hal serupa yang lazimnya digunakan untuk berbagai kegiatan proyek pemerintah.
Ibarat buah simalakama, kendati merasakan kesulitan yang dialami para kontraktor, namun demikian pihak polisi pun tidak bisa berbuat apapun alias bingung dengan dua persoalan yang telah menjadi dilema selama ini. Di satu sisi mendukung pembangunan namun di sisi lain harus menegakan supremasi hukum.
Hal itu terungkap disaat DPP Aspekindo (Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia) Kalbar melakukan audiensi dengan Kapolda Kalbar untuk mencari solusi dan sharing seputar dua permasalahan tersebut.
"Polisi pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan ini tidak bisa diselesaikan hanya polisi sendiri karena ini menyangkut sistem yang didalamnya ada beberapa kewenangan instansi. Jadi harus dibicarakan bersama-sama karena ini terkait penegakan hukum juga," kata Kapolda Kalbar, Brigjen Pol Drs. Nata Kesuma.
Sejumlah keluhan dan kesulitan yang dialami dunia konstruksi disampaikan satu persatu oleh anggota Aspekindo yang dikomandani Syafruddin Nasution dalam audiensi tersebut. Mulai dari masalah harga, pengangkutan, kebijakan hingga terjadinya "pencegatan" yang dilakukan polisi di lapangan ketika si kontraktor membawa minyak atau pun kayu seperti belian, meranti, mabang, bentangor dan sebagainya.
"Paling tidak ada 'toleransi' ataupun kebijakan dari Pak Kapolda bagi kami. Apalagi untuk mengangkut minyak, kami tidak dibolehkan membelinya di SPBU tapi harus minyak yang untuk industri. Sebab kalau kami mengangkut dengan jumlah banyak untuk proyek yang belinya di SPBU disangka melakukan penimbunan. Padahal berdasarkan nilai kontrak harga yang dipakai adalah harga SPBU, " kata Ketua DPP Aspekindo Kalbar, Syafruddin Nasution.
"Untuk kita tidak ada toleransi karena hukum harus tetap jalan. Sebab kalau polisi melakukan pembiaran akan salah apalagi toleransi akan lebih salah lagi. Artinya ada unsur kesengajaan. Akhirnya polisi yang diperiksa atasan lagi," kata Kapolda.
Kapolda tegaskan lagi, meskipun kayu tersebut diangkut hanya dengan menunjukan SPK (Surat Perintah Kerja), tetap dinyatakan tidak berlaku alias ilegal. Sebab SPK hanya surat penunjukan dari pemilik proyek untuk kontraktor dalam melaksanakan pekerjaannya bukan untuk mengangkut kayu.
"Jadi tidak bisa dijadikan dasar atau acuan. Tapi harus menggunakan surat dan dokumen lengkap sesuai ketentuan undang-undang. Akan tetapi jika ada pencegatan dari pihak polisi yang mengganggu beritahukan saja ke kami walaupun polisi punya hak untuk itu," tuturnya.
Menurut Kapolda ada tiga prosedur yang bisa dijadikan dasar oleh kontraktor untuk mendapatkan kayu antara lain melalui IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), melalui lelang serta melalui usahanya sendiri yang sesuai UU untuk mendapatkan jatah kayu 5 persen dari HPH yang dimiliki dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu di daerah.
Selain itu dikatakan Kapolda pihaknya akan membantu kontraktor dalam mencari solusinya kepada instansi terkait seperti ke Pertamina dan para pengusaha HPH. "Keluhan kontraktor ini ketika disampaikan ke pemerintah kami minta tembusannya. Tembusan inilah dasar bagi kami untuk mencari solusi dengan pihak yang terkait karena hal ini tersangkut paut dengan penegakan hukum," ucap Kapolda. (rob)