Kamis, 01 Mei 2008

In Memoriam Sang Budayawan


Pontianak, BERKAT.
Siapa yang tak kenal Fartemi Zain, seorang penata dekorasi terbesar di Pontianak. Kepeduliannya dan kecintaanya terhadap seni budaya khususnya budaya Melayu dia curahkan melalui usahanya dibidang dekorasi dan catering sejak tahun 1989.
Namun sayang, Selasa (29/4) pukul 15.30 WIB, pria yang juga seorang dosen FKIP Untan sejak 1985 ini, dipanggil Yang Maha Kuasa saat dalam perjalanan menuju RSU St. Antonius lantaran sakit yang dideritanya diusia 53 tahun.
Inalillah Wainalilah Rajiun, sebuah kata yang terucap dari setiap orang yang mendengar kepergian sang budayawan Kalbar ini. Jerit tangis dan kepedihan dari istri dan lima orang anak yang ditinggalkannya serta kerabat dan teman dekat yang mengetahui "kepergiannya menghadap Sang Khalik" pun tak terbendungkan lagi.
"Padahal bapak paginya masih sempat pesan ayam dan daging untuk catering di rumah Melayu," kata Ulfa Hatamimi istri almarhumah ketika ditemui BERKAT di kediamannya.
Terlihat dari wajah sang istri yang juga seorang guru di salah satu SD ini duka dan sedih yang mendalam. Kejadian yang tak diduga itu pun membuat terkejut bagi kelima anaknya, terutama Fikri Hairuman Zain, Fathan Al Muassim, serta Fadil Al Farabi yang sedang menimba ilmu pendidikan di Pondok Pesantren Al Zaitun Jawa Barat. Sebab mereka tak sempat lagi melihat abahnya untuk yang terakhir kali.
Ketabahan dan kesabaran itulah yang terungkap dari kelima wajah anak-anak almarhum saat mereka melihat orang tua yang dicintainya untuk yang terakhir kali saat akan dimasukan ke liang lahat. Didikan dan tempaan di Pondok Pesantren Al Zaitun membuat mereka pasrah kepada Allah SWT untuk dapat menerima musibah yang menimpanya.
Lahir pada 22 Desember 1955, pendiri Yayasan Bina 45 ini adalah orang yang pertama kembali menghidupkan budaya saprahan yakni tradisi makan ala Melayu yang sempat hilang bak ditelan bumi. Tradisi ini dulunya digunakan hanya di kalangan istana untuk berbagai kegiatan kerajaan.
Ditangan Fartemi lah, tradisi yang mengandung makna "duduk sama rendah berdiri sama tinggi" ini, mulai dipopulerkan kembali dalam berbagai kegiatan. Sehingga tak heran masyarakat Pontianak, yang akan mengadakan acara baik itu bersifat pribadi seperi kawinan maupun acara formal, mulai dari pejabat Provinsi Kalbar, Kota Pontianak hingga masyarakat biasa tertarik menggunakan saprahan ini.
Aktivis pekerja sosial, itulah gelar yang diberikan Drs. Haitami Salim, teman dekat almarhum, ketika masih di satu organisasi PII (Pelajar Islam Indonesia). "Beliau telah membuka peluang kerja bagi saudara-saudara kita yang membutuhkan. Tak terhitung sudah berapa banyak yang beliau bantu," kata Ketua STAIN/ IAIN Pontianak ini saat menghadiri penguburan di Kampung Saigon, Rabu (30/4).
Tampak hadir saat melayat di kediaman almarhum Jalan Karangan Komplek Untan antara lain, Wakil Walikota Pontianak, Sutardmiji, tokoh agama, Sabhan A Rasyid, Pengurus Yayasan Bina 45, Arifin, Purek III Untan, Edi Suratman, para penata dekorasi, relasi dan sebagainya. (rob)