Kamis, 19 Juni 2008

Semangat Bhinneka Tunggal Ika Semakin Berkurang

Pontianak, BERKAT.
Dua tokoh nasional yakni Gubernur Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan mantan Ketua DPR RI, Akbar Tandjung menyatakan prihatin dengan kondisi bangsa yang tidak lagi mengedepankan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang dinilai semakin hari kian berkurang."Seharusnya Indonesia yang multikultur dan mengakui adanya perbedaan menjadikan Bhinneka Tunggal Ika satu kekuatan dengan melalui pendekatan kebudayaan," kata Sri Sultan Hamengku Buwono X. Hal senada dikatakan Akbar Tandjung yang menilai kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan Bhinneka Tunggal Ika belum dilakukan secara betul oleh masyarakat. ""Perlu diperkuat pemikiran mengenai kemajemukan. Orang yang tidak mendukung itu harus semakin dipersempit," kata Akbar Tandjung.Penegasan itu dikatakan kedua tokoh nasional yang disebut-sebut akan maju sebagai calon presiden ini pada pemilu 2009 mendatang di Hotel Kapuas Palace saat dialog nasional dalam rangka memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional dan kelahiran Pancasila yang digelar sejumlah elemen masyarakat di Kalbar, Sabtu (14/6).Lebih lanjut Sri Sultan menyatakan rasa saling untuk menghargai perbedaan merupakan perilaku budaya milik kearifan lokal yang dipahami seluruh etnik di Indonesia sebagai bentuk aplikasi kebudayaan itu sendiri, namun harus dengan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Ia tidak sepakat adanya dominasi baik dalam bentuk budaya, etnik maupun sektor lain di Indonesia. "Tanpa dominasi dengan segala keberagaman, masyarakat minoritas seharusnya merasa aman dan tenang berada di tengah-tengah mayoritas. Jangan lakukan dengan politik yang hanya menghitung untung ruginya dan ekonomi yang cenderung menimbulkan ketidakadilan dalam kesejahteraan, tapi lakukan dengan strategi pendekatan kebudayaan. Sebab dengan pendekatan itu maka akan melahirkan Indonesia yang lebih memiliki karakter," tegasnya.Dia mencontohkan Malaysia dan Jepang yang masyarakatnya memiliki beragam budaya namun mampu mengedepankan semangat dalam mengabdikan keakuan dan mempertahankan kemajuan dan kemandirian bangsa melalui tradisi budayanya. Dalam sejarah bangsa Indonesia, dia katakan setiap pemimpinnya mempunyai cara tersendiri dalam membangun negara. Misalnya Presiden Soekarno mengedepankan "character building" sedangkan di masa Orde Baru pendekatan ekonomi menjadi "panglima". "Akan tetapi justru yang timbul adalah sesama bangsa maupun pemimpin tidak lagi pernah membicarakan soal moral dan etika tetapi lebih ke ekonomi," ungkapnya. Begitu pula yang dikatakan Akbar Tanjung, bahwa perbedaan yang ada di tiap daerah jangan dijadikan dasar untuk membentuk pondasi secara khusus. Tapi cukup di Aceh dan Papua saja yang dijadikan otonomi khusus karena keduanya memiliki sejarah yang berbeda dengan provinsi lain."Sebab semangat sebagai Negara Kesatuan RI akan semakin lemah. Meskipun telah menganut demokrasi yang di beberapa sisi lebih baik dari Amerika Serikat, namun Indonesia belum menjalankan esensi yang substansial," ujarnya.Menurutnya demokrasi mengandung dua unsur penting yakni substansial dan prosedural. Yang terjadi di Indonesia lebih ke arah prosedural. Sedangkan substansialnya seperti kesetaraan, saling menghormati perbedaan, toleransi kemajemukan bangsa, nilai-nilai kemanusiaan dan HAM perlu lebih diperjuangkan di masa mendatang. "Dengan bentuk demokrasi yang semakin terbuka, rakyat memegang penuh kedaulatan sementara partai politik juga terus bertambah sebagai sarana penyaluran aspirasi rakyat untuk merekrut sarana calon pemimpin," kata Akbar. (rob/ant)